Boleh atau tidakkah menikahkan wanita yang sedang hamil zina?
a. Jumhur Ulama kebanyakan membolehkan mengawini wanita hamil zina seperti pendapat Imam Abu Hanifah, Syafi’I, Ibnu Hazm dari kelompok Ad- Dhohiri, dll.
b. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Maliki melarangnya.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal mendasarkan larangannnya pada maksud lahir ayat- ayat tersebut dan hadist- hadist yang melarang membuahi janin yang sudah ada dari hubungan si wanita dengan orang lain.
c. Adapun Abu Hanifah dan dan Ibnu Hazm, walau membolehkan perkawinannya, namun mereka melarang persenggamaan antara suami istri tersebut sampai si wanita melahirkan anaknya, karena larangan Nabi untuk membuahi janin orang lain berlaku juga bagi wanita yang dihamili tanpa nikah, maka suaminya yang menikahinya dianggap orang lain, walau wujud orangnya sama.
d. Sedang As- Syafi’I membolehkan persenggamaan mereka karena tujuan nikah adalah menghalalkan persenggamaan. Dari Ikhtilaf ini Imam Nawawi (dari madzhab Syafi’i) menyatakan: hukum persenggamaan itu makruh (sebaiknya jangan dilakukan sampai sang bayi lahir) berdasarkan Qoidah: Al- Khuruj minal Ikhtilaaf Mustahab (Keluar dari perbedaan pendapat itu sangat dianjurkan). Lihat Al- Majmu’ Lin- Nawawi.
Setelah memperhatikan semua ikhtilaf tentang ini dan setelah mempertimbangkan segala aspek hukum, sosial dan kemasyarakatan serta berdasarkan asas MASLAHAH MURSALAH (kepentingan umum), dimana diharapkan:
· Ada orang tua yang nantinya akan bertanggung jawab atas segala pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya sampai ia dewasa.
· Si pelaku perzinahan mendapatkan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki segala perilaku buruknya dengan membina keluarga yang sah, terhormat dan dilindungi hukum.
· Mengembalikan harkat martabat dan kehormatan keluarga besarnya dan menutupnya dari AIB keluarga tersebut atas perilaku salah satu dari angota keluarga tersebut, maka:
1. Seseorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan LAKI- LAKI YANG MENGHAMILINYA.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Status anak dari HAMIL ZINA :
Adapun anak dari hasil hubungan ZINA, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan dengan dua kemungkinan, yakni:
1. Bila anak tersebut lahir 6 (enam) bulan LEBIH setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada Suami yang telah mengawini ibunya itu.
2. Bila anak tersebut lahir KURANG 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab anak tersebut adalah KEPADA IBUNYA.
Hal ini bersesuaian dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya Syekh Muhammad Zaid Al-Abyani yang menyatakan bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari = 6 bulan. Para Ulama’ mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing dari Surat Al- Ahqoof 15 dan Surat Luqman ayat 14.
ﻮﺤﻤﻠﻪ ﻭﻔﺼﺎﻟﻪ ﺜﻼﺜﻮﻦ ﺸﻬﺮﺍ ………(ﺍﻷﺤﻘﺎﻒ١٥)
ﻮﻔﺼﺎﻟﻪ ﻔﻰ ﻋﺎﻤﻴﻦ ……………………(ﻟﻗﻤﻦ١٤)
Menurtut Luqman 14, waktu menyapih itu =…………………………………= 24 bulan
Jadi waktu hamil minimal = …………………………………………………………….= 6 bulan
Sesuai dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Hanifah menghitung jumlah 180 hari itu dari PERNIKAHAN, bukan dari mulainya hubungan sekssual diantara kedua orang tua biologisnya.
Catatan penting:
Maka pada kasus no. 2 , yakni jika si anak lahir kurang dari 6 bulan, bila si anak terlahir perempuan, jika ia nanti setelah dewasa hendak menikah, maka walinya bukan suami ibunya namun WALI HAKIM.
Tentu saja anak tersebut secara syar’I tidak mendapatkan hak waris sebagai anak yang sah dari suami ibunya itu bila nanti suami ibunya meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, terkecuali bila yang meninggal itu sebelumnya telah IQROR (membuat pernyataan) bahwa anak tersebut diakui sebagai anaknya sebagaimana diterangkan oleh Badran Abu Al-Ainain sebagai konsekwensi kebalikan pada kasus anak LI’AN (suami yang menuduh istrinya mengandung bukan dari dirinya).
Namun demikian ada beberapa perbedaan pandangan tentang hal ini yang mengacu dari beberapa kejadian dimana terjadi kasus- persengketaan nasab anak- anak yang dibawa kepada keputusan Nabi seperti kasus persengketaaan antara Sa’ad bin Abi Waqosh dan Abdu bin Zam,ah atau seperti apa yang diputuskan Umar bin Al- Khottob tentang anak- anak jahiliyyah yang terlahir dari kebiasaan wanita- wanita mereka kumpul kebo dengan banyak lelaki, dimana Nabi dan Umar bin Al- Khottob memutuskan bahwa anak tersebut (TANPA MELIHAT UMUR KEHAMILAN) adalah anak SUAMINYA YANG SAH, SESUAI SABDA Rasul dalam suatu peristiwa persengketaan tersebut diatas dalam riwayat yang panjang, diantaranya:
ﺍﻟﻮﻠﺪ ﻟﻟﻔﺮﺍﺶ ﻮﻠﻠﻌﺎﻫﺮ ﺍﻠﺤﺠﺮ . ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺍﻻ ﺍﻟﺗﺮﻤﺬﻱ
“Anak itu dinasabkan kepada SUAMI IBUNYA , sedangkan bagi si pelaku zina dia harus dihukum (dera/rajam)”. Hadist riwayat Jama’ah ahli hadist terkecuali Turmudzi.
Wallohu A’lam.
Source: tanbihun.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar