Wanayasa Indah

Wanayasa Indah
Desa Wisata Wanayasa - Purwakarta
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Wanayasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Wanayasa. Tampilkan semua postingan

23 Des 2010

SEJARAH WANAYASA Jilid-2 :)

Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda (lihat peta rekonstruksi Gunung Sunda). Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai “pangparatan” Situ Wanayasa.

Tanda-tanda bahwa Situ Wanayasa merupakan situ alam antara lain dengan banyaknya sumber air di area dan di dalam Situ Wanayasa itu sendiri. Oleh karena itu, sampai sekarang belum diketahui kedalaman sesungguhnya dari Situ Wanayasa tersebut, karena tak pernah kering sama sekali. Bentuknya seperti kuali (katel), yang membuat “tambakan” Situ Wanayasa sangat kokoh, dengan bagian terdalam diduga berada di bagian barat daya Pasir Mantri sekarang. Oleh karena itu, anggapan bahwa Situ Wanayasa merupakan situ yang dibuat pada zaman Dalem Santri, sulit diterima. Pasalnya, beberapa catatan Belanda dan sumber-sumber naskah kuna mengisyaratkan, Situ Wanayasa sudah ada jauh sebelum Dalem Santri lahir. Kisah tentang Eyang Tambak, misalnya, menurut tokoh masyarakat Wanayasa yang sudah berusia lanjut seperti Kiai Atang (Ama Atang) serta beberapa tokoh tua lainnya, bukan "membuat" tambakan Situ Wanayasa, namun "memperbaiki" tambakan tersebut yang suka bocor dan "urug" di beberapa bagian yang tanahnya labil. Eyang Tambak (nama aslinya belum teridentifikasi) adalah salah seorang tokoh yang disegani di Wanayasa pada masanya, sehingga ia diangkat menjadi pengatur air dari Situ Wanayasa untuk kepentingan persawahan yang airnya mengandalkan Situ Wanayasa. Eyang Tambak diperkirakan hidup sektar abad ke-19. Dan jauh sebelum masa itu Situ Wanayasa sudah ada. Artinya usia Situ Wanayasa jauh lebih tua daripada Dalem Santri maupun Eyang Tambak.

Luas Situ Wanayasa membentang sekitar 17 ha. Namun sekarang luasnya tinggal menyisakan sekitar 7 ha lagi. Sisanya telah berubah menjadi persawahan penduduk. Terdapat empat penclut (bukit kecil) di area Situ Wanayasa dan empat penclut lagi berada di pinggir situ tersebut. Kini yang tersisa hanya penclut Pasir Mantri. Di setiap penclut tersebut terdapat makam dan petilasan kuna, yang erat kaitannya dengan perjalanan sejarah Wanayasa. Makam dan petilasan lainnya juga terdapat di sekitar daerah Wanayasa. Misalnya saja Makam Dalem Santri, Bupati Karawang yang memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Bunut ke Wanayasa, terletak di penclut pertama dari timur. Tepatnya di Kampung Cibulakan, Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa. Sedangkan di Pasir Mantri, penclut keempat yang kini merupakan satu-satunya penclut yang berada di tengah Situ Wanayasa, terdapat makam Kiai Warga Nala (Kiai Agung) dan Mas Bagus Jalani (Kiai Gede). Keduanya merupakan tokoh ulama di Wanayasa. Tampaknya Pasir Mantri ini merupakan kompleks pemakaman tokoh-tokoh agama (ulama) di Wanayasa. Sayangnya makam lainnya yang ada di Pasir Mantri, sekitar delapan atau sembilan makam lagi, belum teidentifikasi.

Beberapa situs dan petilasan menandakan, bahwa sejak zaman prasejarah diduga telah ada kehidupan di Wanayasa. Antara lain dengan ditemukannya kapak batu di Pasir Kuda. Kemudian pada zaman sejarah, sebelum masuknya agama Islam ke Wanayasa, diduga telah ada kehidupan masyarakat yang mempunyai kepercayaan lama dan Hindu-Budha. Antara lain ditandai dengan ditemukannya Batu Kasur, Batu Tanceb, Batu Tapak, arca Nandi (Batu Babantengan) yang diduga saat itu merupakan wilayah Kerajaan Saung Agung.

Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuna, antara lain Carita Parahiyangan dan Bujangga Manik, di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu. Walaupun kepastiannya memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon pada masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1530,bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, menurut Edi S. Ekadjati kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.

Di bagian selatan Wanayasa (Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon), terdapat tiga nama berdekatan membentuk segitiga, yakni Bakom, Karanganyar, Cipulus. Nama yang sama terdapat pula di bagian selatan Wanayasa (Purwakarta), juga dengan posisi membentuk segitiga, yakni Cibakom, Karanganyar, Cipulus. Bedanya Bakom di Cirebon menjadi Cibakom di Wanayasa (Purwakarta). Di antaranya juga ada dua gunung yang bernama sama: Gunung Sembung (di Sukatani dan Cirebon) serta Gunung Karung (di Maniis dan Luragung). Walaupun pada perkembangan selanjutnya terdapat nama-nama kampung atau daerah yang tampaknya sangat lazim di wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram saat itu, antara lain Kampung Krajan. Nama Kampung Krajan terdapat hampir di seluruh Pulau Jawa, dari Jawa Timur hingga Banten. Teori reduplikasi ini didukung pula oleh hasil-hasil penelitian para ahli genetika sejarah seperti Paul Michel Munoz.

Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.

Diduga kuat nama Wanayasa pada saat itu sudah ada, walaupun belum menjadi nama wilayah administratif pemerintahan. Barulah pada tahun 1681 Wanayasa dipersiapkan untuk menjadi kabupaten. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1684 Kabupaten Wanayasa diresmikan dengan bupatinya yang pertama Raden Demang Suradikara. Yang kemudian mendapat gelar Aria, sehingga namanya menjadi Radem Aria Suradikara, yang lebih dikenal dengan nama Dalem Aria. Pengganti Dalem Aria, menurut sumber-sumber tradisional berturut-turut adalah: Dalem Panengah, Dalem Rajadinata, Dalem Raden Suradikara II, Dalem Raden Suradikara III, dan Dalem Raden Suradikara IV atau Dalem Sumeren. Kabupaten Wanayasa dibubarkan pada tahun 1789 dan digabungkan dengan Kabupaten Karawang. Lalu sempat digabungkan dengan Kabupaten Sumedang, dan digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang.

Ketika Wanayasa merupakan afdeeling bagian dari Kabupaten Sumedang, Wanayasa dijadikan ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816, yang membawahi Kabupaten-kabupaten: Sumedang, Bandung, Cianjur, Sukapura, dan Limbangan. Residennya saat itu adalah W.C van Motman. Bahkan ketika Wanayasa digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang pada tahun 1820, ibukota Keresidenan Priangan masih tetap di Wanayasa, paling tidak sampai tahun 1824. Padahal saat itu Wanayasa juga dijadikan ibukota Kabupaten Karawang sejak tahun 1821. Keresidenan Priangan dipindahkan ke Cianjur tahun 1829.

Bupati Karawang saat itu adalah Raden Tumenggung Surianata yang berasal dari Bogor. Dan dikenal dengan seburan Dalem Santri. Ia meninggal dunia tahun 1827 dan dimakamkan di Wanayasa. Makamnya terletak di Kampung Cibulakan, Desa Babakan (Kecamatan Wanayasa). Menurut sumber-sumber di Wanayasa, penggantinya adalah Raden Suriadinata, yang dikenal dengan sebutan Dalem Bogor. Ia tidak lama menjadi Bupati Karawang, hanya sekitar dua tahun. Oleh karena itu disebut juga dengan istilah Dalem Panyelang. Meninggal dunia sekitar tahun 1829 dan dimakamkan di Wanayasa. Makamnya terletak di Pemakaman Blok Desel, Gang Mayit Wanayasa. Pada batu nisannya tertera: R. Suria di Nata bin R. Karta di Reja, wafat Rabiul Awal 1244 (H). Kemudian digantikan oleh Raden Tumenggung Suriawinata atau Dalem Sholawat pada tahun 1829. Ialah yang memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih, yang kemudian dinamai Purwakarta.

Wanayasa juga tercatat dalam sejarah perniagaan kopi di Priangan. Kopi-kopi yang berasal dari Bandung, Sumedang, Cisalak, Sagalaherang dan sekitarnya, serta tentu saja dari Wanayasa sendiri; dikumpulkan, ditimbang ulang, dan ditimbun di Gudang Kopi di Wanayasa. Kemudian dibawa dengan pedati ke Pelabuhan Cikao di tepi Sungai Citarum untuk dikapalkan ke Batavia. Bekas Gudang Kopi itu sekarang jadi gedung SDN 1 Wanayasa. Gudang Kopi tersebut tercatat dijadikan bangunan sekolah pada tahun 1864 dengan murid pertamanya 19 orang, yang berusia antara 10 - 23 tahun. Guru pertamanya adalah Mas Muharam dari Dawuan (Cikampek sekarang).

Wanayasa menjadi tempat transit hasil kopi, karena Wanayasa dilewati oleh jalan tradisional yang menghubungkan Kawali (di Ciamis sekarang) dengan Pakuan (di Bogor sekarang). Jalan yang disebut-sebut sebagai “Highway Pajajaran” tersebut diduga sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda di bawah kekuasan Prabu Wretikandayun. Menyusuri Kawali – Karang Sambung – Tomo – Kutamaya – Cisalak – Sagalaherang – Wanayasa – Kembang Kuning – Cikao – Tanjungpura – Cibarusah – Warung Gede – Cileungsi – Pakuan.

Menurut R.A Sumarsana, juru kunci situs Karang Kamulyan Ciamis, dari Wanayasa jalan tersebut belok ke utara melalui Rancadarah (lewat Situ Wanayasa) terus sampai Simpang (Purwakarta), dari sana berbelok ke Cigedogan lalu menyeberangi Sungai Cikao ke Kembang Kuning, dan seterusnya. Jadi anggapan bahwa jalan lama itu memutar ke arah Bojong, lalu di Cikeris berbelok ke Sindangpanon, sulit diterima. Karena jalan ke arah Bojong awalnya merupakan jalan kontrak, yang dibuat untuk kepentingan perkebunan teh, sama halnya dengan jalan Sindangpanon ke Pondoksalam. Begitu pula dengan anggapan bahwa jalan lama itu melalui Gandasoli yang keluar dari Galian. Secara logika pun, jika jalan tersebut yang dipergunakan, maka pusat Kota Wanayasa tidak akan berada di tempatnya yang sekarang, tapi di jalur jalan antara Babakan – Gandasoli. Dan ini lagi yang tak masuk akal, jauh dari Gudang Kopi. Logikanya, jalan "Highway Pajajaran" itu, ya jalan yang dekat ke Gudang Kopi dan melalui Alun-alun Wanayasa. Pasalnya, kopi sudah ditanam di Priangan, termasuk di Wanayasa pada awal abad ke-18. Mulai ditanam di Priangan tahun 1707, dan ditanam secara besar-besaran sepuluh tahun kemudian. Gudang Kopi di Wanayasa, diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-18, setelah tanaman kopi dipanen dan menampakkan hasilnya yang menggembirakan VOC (VOC dibubarkan tahun 1799).

Menurut Haryoto Koento, jalan yang menyusuri Sungai Cikapundung (Kota Bandung sekarang), mulai dari Alun-alun – Jalan Braga – Coblong – Dago hingga ke Maribaya, pada abad ke-17 bernama Jalan Wanayasa. Dari Maribaya berbelok ke utara, melewati jalan lama Cupunagara, Sanca, yang tembus ke Cisalak. Dari sana orang bisa memilih, ke selatan menuju Sumedang dan ke barat menuju Wanayasa. Jalur jalan yang sama juga dipergunakan oleh orang Bandung ketika mengangkuti material pembangunan gedung-gedung pemerintah, ketika ada wacana memindahkan ibukota Pemerintah Hindia Belanda ke Bandung sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Material-material itu dibawa dari Batavia dengan kapal ke Pelabuhan Cikao, kemudian diangkut dengan pedati kerbau ke Bandung melalui jalur “Highway Pajajaran”. Banyak orang Bandung yang harus “mondok-moek” bahkan bermukim di Cikao, sehingga sejak itu namanya menjadi Cikaobandung.

Wanayasa juga tercatat dalam sejarah perkebunan teh di Indonesia. Adalah Jacobson, ahli teh dari Belanda yang kali pertama membuat Kebun Percobaan di Cisurupan (Garut) dan Wanayasa (Purwakarta) pada tahun 1827. Diduga kebun percobaannya itu di sekitar Pasir Nagara Cina sekarang. Pasalnya, beberapa botanikus kenamaan Belanda saat itu seperti Christian Heinrich Macklot sempat berkunjung ke Pasir Nagara Cina tahun 1831. Tak hanya Macklot, beberapa botanikus terkenal pun sempat datang ke Pasir Nagara Cina. Lalu pada tahun 1828 Jacobson membuka perkebunan teh skala besar di Wanayasa. Yang diikuti dengan pembangunan pabrik teh Wanayasa (diduga di daerah Sindangpanon dan Sukadami sekarang). Merupakan pabrik teh yang pertama dibangun di Indonesia. Keberhasilan Jacobson itulah yang kemudian memicu Pemerintah Hindia Belanda, bekerja sama dengan pengusaha partikulir, membuka perkebunan teh di berbagai daerah.

Jacobson membawa beberapa tenaga untuk perkebunan teh dan pabriknya langsung dari Cina. Para pekerja lainnya juga kebanyakan orang-orang Cina dari Makao, sehingga disebut Cina Makao. Mereka ditempatkan di sebuah bukit di kaki Gunung Burangrang, yang kemudian dikenal dengan nama Pasir Nagara Cina. Artinya, sebelum perlawanan Cina Makao di Purwakarta tahun 1832, orang-orang Cina Makao sudah bermukim di Pasir Nagara Cina. Justru orang-orang Cina Makao sebagian besar hengkang dari Pasir Nagara Cina setelah peristiwa tersebut. Beberapa orang di antaranya memilih tinggal di daerah sekitar Wanayasa.

Macklot, sang botanikus muda kelahiran Jerman, pada tahun 1832 menjadi tentara KNIL. Ia ditempatkan di Wanayasa, memimpin pasukan artileri yang dilengkapi senjata berat seperti meriam. Tiga buah meriam di antaranya dibawa Macklot ketika memadamkan perlawanan Cina Makao di Purwakarta tanggal 8 – 9 Mei 1832. Perlawanan Cina Makao itu meluas hingga ke Tanjungpura. Tapi di sana mampu dipadamkan oleh pasukan Belanda pimpinan Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan senapati andalan Pangeran Diponegoro, yang saat itu sudah membelot ke pihak Belanda. Sisa-sisa "karaman" Cina Makao kembali ke timur. Mereka bertemu dengan pasukan Bupati Priangan serta pasukan Macklot di Dawuan. Terjadi lagi pertempuran hebat di sana. Macklot terluka di Dawuan dan meninggal dunia 12 Mei 1832 di Purwakarta pada usia 33 tahun.

Sehari kemudian, tanggal 10 Mei 1832 Cina Makao dari Pasir Nagara Cina mengikuti jejak teman-temannya yakni Cina Makao dari Cilangkap, melakukan penyerangan ke Purwakarta. Tapi mereka terhenti di tanjakan Pasir Panjang oleh tentara Belanda. Terjadilah pertempuran hebat sehingga memakan banyak korban di kedua belah pihak. Darah membasahi bumi hingga “ngaranca”, seperti layaknya rawa. Maka daerah itupun dinamai Rancadarah. Mayat-mayat ditumpuk di sebuah lembah (legok). Ketika pejabat Pemerintah Hindia Belanda akan mendata jumlah korban, ia harus menggunakan “sigay” untuk menuruni lembah tersebut. Maka sejak itulah dinamakan Legok Sigay.

Sisa-sisa pemukiman Cina Makao di Pasir Nagara Cina, di antaranya adalah Pintu Hek yang merupakan pintu gerbang ke pemukiman tersebut. Kemudian gang di samping Klinik Dokter Ridwan sekarang, menurut almarhum Bapak R. Moh. Idris (Bapak Eni) dulunya bernama Gang Babah Kecil, karena di ujung gang tersebut tinggal Cina Makao dari Pasir Nagara Cina yang tidak turut hengkang dari Wanayasa setelah Peristiwa Rancadarah.Ia disebut Babah Kecil karena berperawakan kecil. Tak ada keterangan Babah Kecil menikah dengan masyarakat setempat, namun ia ditakdirkan berusia lanjut, sehingga banyak orang Wanayasa saat itu yang sempat mendengar kisah perlawanan Cina Makao di Purwakarta langsung dari Babah Kecil.

Beberapa catatan penting tentang Wanayasa:Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran) di Wanayasa sudah ada kerajaan wilayah bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ia memberontak kepada Kerajaan Sunda, karena tidak setuju Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi) dan penggantinya Prabu Surawisesa, melakukan kontak (hubungan diplomatik) dengan Portugis.Wanayasa pernah menjadi kaumbulan, termasuk wilayah Tatar Ukur dibawah DipatiUkur dengan nama Ukur Aranon dengan umbulnya bernama Ngabei Mertawana.Wanayasa menjadi kabupaten "anu madeg mandiri" antara tahun 1681 - 1789. Kabupaten tersebut dipersiapkan tahun 1681 dan diresmikan 16 Agustus 1684 dengan regent pertamanya Demang Suradikara. Batas-batas wilayahnya: sebelah timur Sungai Cilamaya, sebelah selatan Sungai Cisomang, sebelah barat Sungai Citarum, dan sebelah utara Ciasem.Wanayasa menjadi ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816. Saat itu Wanayasa menjadi bagian (afdeling) dari Kabupaten Sumedang. Residen Priangan saat itu W.C. van Motman. Ketika Wanayasa menjadi bagian dari Kabupaten Karawang, tahun 1820, Wanayasa masih tetap menjadi ibukota Keresidenan Priangan. Ibukota Keresidenan Priangan baru dipindahkan ke Cianjur tahun 1829. Tahun 1835, Asisten Residen Karawang, Jacobson, memindahkan kantornya dari Sindangkasih (Purwakarta) ke Wanayasa. Asisten Residen sebelumnya, G. de Seriere, turut pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih bersamaan dengan dipindahkannya ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Purwakarta.Wanayasa menjadi ibukota Kabupaten Karawang tahun 1821 - 1830. Kemudian ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan ke Sindangkasih (Purwakarta) tahun 1830 oleh Dalem Sholawat yang menjadi Bupati Karawang tahun 1829. Sebelumnya Bupati Karawang di Wanayasa adalah Dalem Santri (R. Surianata) tahun 1821 - 1827 dan Dalem Bogor (R. Suriadinata) tahun 1827 - 1829, ia disebut juga Dalem Panyelang.Wanayasa dilalui jalan "Highway Pajajaran", yakni jalan yang sekarang melalui Alun-alun Wanayasa dan Situ Wanayasa. Tidak lewat Cikeris, tidak juga lewat Gandasoli. Situ Wanayasa merupakan situ alam, yang sudah ada sebelum Dalem Santri menjadi Bupati Karawang dan Eyang Tambak lahir.

Oleh Budi Rahayu Tamsyah
READ MORE - SEJARAH WANAYASA Jilid-2 :)

16 Sep 2010

SEJARAH WANAYASA (Versi Basa Sunda)

Ari karuhun Wanayasa teh asalna ti Mataram, nya eta Susuhunan Mangkurat, putrana Susuhunan Tegalarum. Susuhunan Tegalarum putrana Sultan Agung Mataram. Asalna tedak Dipati Hariang Banga, putra pamindo Ratu Galuh.

Susuhunan Mangkurat kagungan putra hiji pameget, jenenganana Pangeran Dipati Katwangan. Ageung-ageung eta Dipati Katwangan téh kagungan geureuha ka putrana Pangeran Madura, ti dinya kagungan putra dua:

1. Pameget, jenenganana Pangéran Pancawara.
2. Istri, jenenganana Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya kagungan caroge ka Panembahan Girilaya, Cirebon. Pangéran Pancawara ogé sami nyarengan ka Cirebon, kagungan geureuhana ka raina Pangéran Girilaya, sarta kagungan cacah jiwa 80 somah. Pangéran Pancawara kagungan putra dua, pameget sadayana:

1. Dalem Putera Kelasa
2. Dalem Aria Surya di Kara

Dalem Aria Surya di Kara I, calikna di Léngkapura Sumedang. Kagungan putra hiji, jenenganana Dalem Giri Perlaya. Dalem Giri Perlaya kagungan putra hiji, jenenganana Raksa Nagara.

Kacarioskeun Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya pipisahan sareng Panembahan Girilaya. Kagungan deui carogé ka Geusan Ulun ti Nagara Sumedang Larang, kagungan putra dua, pameget duanana:

1. Dalem Sura di Wangsa
2. Dalem Kusuma di Nata

Lami-lami Geusan Ulun wafat, enggalna sepuh-sepuh di Nagara Sumedang Larang barempug, lajeng nunuhun ka Susuhunan Mataram, nyuhunkeun kanggo piregeneun (pibupatieun) Nagara Sumedang. Anu kawidian ku Susuhunan Mataram téh Dalem Kusuma di Nata. Teras bae sadérékna anu sepuh, Dalem Sura di Wangsa, ngalolos ti Nagara Sumedang bari nyandak somah anu 80 téa. Angkat ngulon. Enggalna sumping ka Suriyan cul 17 somah, majeng deui, sumping ka Sanca cul 10 somah. Majeng deui ngulon, sumping ka Cocokbubu (Cibungkul), cul 30 somah. Anu dicandak kantun 23 somah, teras majeng deui ngulon-ngalér.

Kacarioskeun di Sumedang.

Dalem Suria di Kara sareng Dalem Raksanagara nyusul anu ngalolos tea. Sumping ka peuntaseun Citarum, Dalem Sura di Wangsa téh kasusul, diajak énggal-énggal mulih. Ari waler Dalem Sura di Wangsa, moal ngiring mulih ka Sumedang. Mung masihkeun somah 10. Janten anu dicandak ku Dalem Sura di Wangsa kantun 13 somah deui, lajeng neraskeun lalampahanana ka Banten.

Ayeuna urang tunda anu ka Banten, kocapkeun anu duaan tea,

Dalem Suria di Kara sareng Dalem Raksanagara henteu marulih deui ka Sumedang, énggal milarian tanjung pikeun pilemburan, teras didamel lembur anu dinamian Tanjung Pura. Di dinya henteu lami. Ngalih deui ka palih kidul, ngadamel deui lembur anu disebat Kasumedangan. Dupi anu jeneng di Kasumedangan nya éta Dalem Raksa Nagara. Ari Dalem Suria di Kara, lajeng angkat deui mudik, sumpingna ka Kali Cocokbubu. Ti dinya papendak deui sareng somah anu 30 tadi téa, nu dikantunkeun ku Dalem Sura di Wangsa.

Dalem Suria di Kara ngadamel lembur sawétaneun Kali Cocokbubu (Cibungkul), anu dinamian Babakan. Teu kantos lami, ngalih deui ka sakuloneun Kali Agung, teras ngadamel deui désa anu dinamian Wanayasa. Anu pihartoseunana “leuweung anu didamel lembur”. Éta lembur ngawitan dipidamel dina dinten Senén, tabuh salapan énjing-énjing, kaping 7 Robiul Awal 1107 Hijrah.

Lami-lami Wanayasa téh majeng, malih dugi ka janten kabupatén mandiri, anu namina Kabupatén Wanayasa. Dongkap réstu ti Mataram sareng dibisluitan, anu janten dalem munggaran di Kabupatén Wanayasa téh nya éta Dalem Aria Suria di Kara I.

Numutkeun panyariosan.

Kaunggel dina “Tjoektjroekan Robahan-robahan Pamaréntah di Tanah Priangan” kénging R. Suria di Raja (Panca-Warna, 1932) yén Wanayasa téh awitna kaumbulan kabawahna ka Tatar Ukur. Jenengan kaumbulanana Ukur Aranon, ari anu janten umbulna Ngabei Mertawana. Ukur Aranon (Wanayasa kapungkur), Ukur Sagalahérang (ngawengku Sagalahérang, Ciasem, Pamanukan), sareng Ukur Krawang (Karawang ayeuna), kelebet Ukur Nagara Agung, nya éta tilu kaumbulan anu aya di luar Bumi Ukur. Ari Bumi Ukur diwangun ku genep kaumbulan nya éta: Ukur Bandung (ngawengku Bandung Kidul sareng Ciparay), Ukur Pasirpanjang (Bandung palih wétan, Majalaya Kidul, Tanjungsari), Ukur Biru (Ujungberung, Cibiru), Ukur Curug Agung (Rajamandala, Cipatat, sabagian Cikalong), Ukur Batulayang (Cililin, Soréang, Ciwidéy), Ukur Kahuripan (Kota Bandung, Cimahi, Cikalong Wétan). Anu mawi Tatar Ukur harita disebat ogé Ukur Sasanga, ku margi diwangun ku salapan kaumbulan.

Nalika Dipati Ukur patelak sareng Sultan Agung Mataram, umbul anu salapan téh sadayana biluk ka Dipati Ukur. Dipati Ukur kasoran, diboyong sarta ditelasan ku Sultan Agung Mataram. Tatar Ukur diburak. Ukur Sasanga janten bawahan Kabupatén Bandung. Ari anu jadi bupatina Ngabei Astramanggala, tilas Umbul Cihaurbeuti anu satia ka Sultan Agung Mataram, sarta jenenganana dilandi: Radén Tumenggung Wira Angun-angun.

Dina taun 1677 waktos tanah Karawang kamilik ku Kumpeni, Wanayasa ogé kabaud, jadi bawahan Kumpeni. Dina taun 1681 Wanayasa didamel kabupatén, nu jadi regentna jenengan Demang Suradikara. Dina taun 1789 ieu kabupatén diburak, dihijikeun sareng Karawang.

Wanayasa janten kabupatén anu mandiri, kaunggel ogé dina buku Priangan karangan F. de Haan (1912: 169). Di dinya disebatkeun wates-wates Kabupatén Wanayasa: palih kidul Walungan Cisomang, palih kalér Ciasem (Walungan Cipunagara), palih wétan Walungan Cilamaya, palih kulon Walungan Citarum. Di antawisna ngurung palabuan di sisi Walungan Citarum di Cikao, anu kiwari nelah Cikaobandung.

Dupi dalem (bupati) anu kantos ngaheuyeuk dayeuh ngolah nagara di Kabupatén Wanayasa, nya éta:

1. Dalem Radén Aria Suria di Kara I
2. Dalem Panengah
3. Dalem Radén Raja di Nata
4. Dalem Radén Suria di Kara II
5. Dalem Radén Suria di Kara III
6. Dalem Radén Suria di Kara IV (Dalem Sumérén)

Wangsul deui kana pisaur sepuh.

Dalem Suria di Kara kagungan putra hiji, pameget jenenganana Dalem Panengah. Dalem Panengah kagungan putra Dalem Raja di Nata. Dalem Raja di Nata kagungan putra tujuh, pameget sadayana:

1. Dalem Suma di Nata
2. Dalem Aria Suria di Kara
3. Dalem Nata Yuda
4. Dalem Judi Manggala
5. Dalem Raksa di Raja
6. Dalem Yuda Paraya (Yuda Praja/Radén Demang Suma Praja)
7. Dalem Suma di Ra

Anu netep di Wanayasa opat, nya éta:

1. Dalem Suma di Nata
2. Dalem Aria Suria di Kara I
3. Dalem Nata Yuda
4. Dalem Judi Manggala

Demi anu janten Demang nya éta Dalem Suria di Kara, anu katelah Dalem Radén Aria Suria di Kara I. Nu janten patihna nya éta raina ku anjeun nyatana Dalem Nata Yuda, teras nu janten ngabéhina nyaéta Dalem Judi Manggala.

Kacatur wargina anu tilu deui, sasatna:

1. Dalem Raksa di Raja angkat ti Wanayasa ka Nagara Bandung, Distrik Tarogong (Garut ayeuna).
2. Dalem Suma di Ra, angkat ka Nagara Bandung, Distrik Kopo.
3. Dalem Yuda Paraya (Yuda Praja/Radén Demang Suma Praja)

Dalem Radén Aria Suria di Kara I kagungan putra 17, pameget 7 istri 10. Anu pameget kasebat:

1. Radén Dalem Aria Suria di Kara II, anu majengkeun Nagara Wanayasa kapungkur. Kagungan putra tilu:

1) Radén Suria di Kara
2) Nyai Radén Julaéha
3) Nyai Radén Siti Jénab

2. Radén Rangga Dira Kusuma, kagungan putra 2, pameget sadayana:

1) Radén Kara di Kusuma, janten Patih Ciasem kapungkur.
2) Radén Kusuma di Kara, janten Demang di Kalijati.

3. Radén Wangsa Kusuma

4. Radén Sura di Reja, janten Kapala Cutak di Cikao, kagungan putra dua, pameget duanana:

1) Radén Sura di Kusuma janten Mantri Cacar Lebak Siuh.
2) Radén Arya di Kusuma janten Kanduruan di Purwakarta.

5. Radén Nata di Pura, kagungan putra genep, pameget opat, istri dua:

1) Radén Asta di Paraya, janten jaksa di Wanayasa kapungkur.
2) Radén Nata Jibja, janten Patinggi Wanayasa kapungkur.
3) Radén Nata Paraya, janten Lurah Wanayasa kapungkur.
4) Muhamad Tahir, ieu mah teu nyepeng damel.
5) Nyai Radén Enau.
6) Nyai Radén Mula.

6. Radén Dira Jibja (Radén Wira Jibja), kagungan putra opat, pameget tilu, istri hiji.

1) Nyai Radén Raja Ésah
2) Anu pameget teu aya catetanana.

7. Radén Santri.

8. Nyai Radén Raja

9. Nyai Radén Nata Kumbara, carogéan ka Radén Suma di Reja, kagungan putra dua, pameget hiji, istri hiji:

1) Radén Baraya di Sura.
2) Nyai Radén Nata Kusuma

10. Nyai Radén Raja Imut, carogéan ka Radén Nata Yuda, janten Kapala Cutak di Sindangkasih, kagungan putra dua, pameget hiji, istri hiji.

1) Radén Nata di Manggala, janten Kapala Cutak di Purwakarta.
2) Nyai Radén Uji, janten Rangga di Wanayasa.

11. Nyai Radén Béma, carogéan ka Radén Rangga Omas, Bogor, kagungan putra dua, pameget hiji, istri hiji.

1) Radén Nata di Manggala.
2) Nyai Radén Tenda di Ningrat

12. Nyai Radén Nata Imbang, carogéan ka Kiyai Warega (anu ngumbara), kagungan putra dua, pameget hiji, istri hiji.

1) Kiyai Warega
2) Nyi Mas Gandiyah, carogéan ka Radén Asta di Paraya, putrana Radén Raksa di Rana, buyutna Kasumedangan (Dalem Raksa Nagara)

13. Nyai Radén Naga Mirah (Nyai Radén Adya), carogéan ka Radén Asta di Paraya (Radén Raksa Jibja), Patih Wanayasa. Ari Radén Asta di Paraya téh putrana Radén Raksa di Rana, buyutna Kasumedangan (Dalem Raksa Nagara).

14. Nyai Radén Téja Mirah, carogéan ka Radén Bangsa di Kusumah, Patih Wanayasa katilu, kagungan putra opat, pameget dua, istri dua.

1) Radén Bangsa di Kusuma, janten Kanduruan di Wanayasa
2) Radén Dipa Paraya, janten Patinggi Wanayasa,
3) Nyai Radén Nuri
4) Nyai Radén Wandas.

15. Nyai Radén Kasmirah

16. Nyai Radén Suma Kadaton

17. Nyai Radén Umi.

Ujaring warti.

Wanayasa dina jaman Pajajaran, kaunggel dina naskah kuno Bujangga Manik. Numutkeun Prof Dr. Noordijn, anu disebat Karajaan Saung Agung téh nya éta wewengkon Wanayasa ayeuna. Puseur dayeuhna di Ramanéa, nu aya di suku gunung Gunung Agung (Gunung Burangrang). Ari numutkeun Prof. Dr. Éddy S. Ékajati, Karajaan Saung Agung téh mangrupi karajaan bawahan Pajajaran anu pamungkas ditalukkeun ku Kasultanan Cirebon, sarta namina digentos jadi Wanayasa, mangrupi réduplikasi tina ngaran tempat anu aya di Cirebon.

Katerangan anu tangtos baé peryogi dipaluruh deui, dipatalikeun sareng sumber-sumber sanésna.

Pamungkas catur.

Sajarah Wanayasa, natrat panjang ti bihari dugi ka kiwari. Sanaos kitu, masih kénéh seueur anu kedah disungsi; disarungsum sareng dieuyeuban. Mangga, guareun urang sadayana, wariskeuneun ka anak incu, da bongan urang henteu kaluar tina beulah batu. Sanés kanggo agulkeuneun, ampun paralun upami dugi ka agul ku payung butut. Namung saur ujaring nu weruh disemuna, moal aya kiwari mun taya bihari, moal aya jaga mun taya ayeuna. Nya bagja temen jalma anu apal ka dirina, pibekeleun kumelendang di alam pawenangan.

Perkawis “Silsilah Rundayan Wanayasa”, upamina, tangtos kedah disarungsum sareng dieuyeuban deui, ku margi kabiasaan sepuh urang kapungkur nyatetkeun silsilah téh mung anu aya patalina sareng anjeunna baé. Anu tiasa janten éta silsilah téh ayeuna ogé aya di unggal kulawarga rundayan Wanayasa. Upami éta silsilah kulawarga téh dikempelkeun, bakal katingal lengkep sareng gulangkepna, anu tangtosna baris langkung euyeub. Maksadna, supados urang sareng anak-incu urang henteu dugi ka pareumeun obor, da bongan saur sepuh: baraya mah taya tapakna, dulur mah taya urutna. Maksad sim kuring saparakanca, di antawisna, hoyong nyusun “Database Silsilah Rundayan Wanayasa”.

Sasieureun sabeunyeureun, mugia aya mangpaatna.

Cag!

Bahan-bahan ti Bapa R. Sukendar Kerta Kusuma sareng Bapa R. Moh. Idris (alm.).

Diserat deui ku: Budi Rahayu Tamsyah alias Mang Adud.

sumber: www.wanayasa.co.cc
READ MORE - SEJARAH WANAYASA (Versi Basa Sunda)