Wanayasa Indah

Wanayasa Indah
Desa Wisata Wanayasa - Purwakarta

18 Mei 2011

Tentang Menikahkan Wanita Yang Hamil Zina





Boleh atau tidakkah menikahkan wanita yang sedang hamil zina?

a.  Jumhur Ulama kebanyakan membolehkan mengawini wanita hamil zina seperti pendapat Imam  Abu Hanifah, Syafi’I,  Ibnu Hazm dari kelompok Ad- Dhohiri, dll.
b.  Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Maliki melarangnya.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal  mendasarkan larangannnya pada maksud lahir ayat- ayat tersebut dan hadist- hadist yang melarang membuahi janin yang sudah ada dari hubungan si wanita dengan orang lain.
c.  Adapun Abu Hanifah dan dan Ibnu Hazm, walau membolehkan perkawinannya, namun mereka melarang persenggamaan antara suami  istri tersebut sampai si wanita melahirkan anaknya, karena larangan Nabi untuk membuahi janin orang lain berlaku juga bagi wanita yang dihamili tanpa nikah, maka suaminya yang menikahinya dianggap orang lain, walau wujud orangnya sama.

d.  Sedang  As- Syafi’I membolehkan persenggamaan mereka karena tujuan nikah adalah menghalalkan persenggamaan.  Dari Ikhtilaf ini Imam Nawawi (dari madzhab Syafi’i) menyatakan:  hukum persenggamaan itu makruh (sebaiknya jangan dilakukan sampai sang bayi lahir)  berdasarkan Qoidah: Al- Khuruj minal Ikhtilaaf Mustahab (Keluar dari perbedaan pendapat itu sangat dianjurkan). Lihat Al- Majmu’ Lin- Nawawi.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (K.H.I) Indonesia.
Setelah memperhatikan semua ikhtilaf tentang ini dan setelah mempertimbangkan segala aspek hukum, sosial dan kemasyarakatan serta berdasarkan asas MASLAHAH MURSALAH (kepentingan umum), dimana diharapkan:

·       Ada orang tua yang nantinya akan bertanggung jawab atas  segala pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya sampai ia dewasa.
·       Si pelaku perzinahan mendapatkan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki segala perilaku buruknya dengan membina keluarga yang sah, terhormat  dan dilindungi hukum.
·       Mengembalikan harkat martabat dan kehormatan  keluarga besarnya dan menutupnya dari AIB keluarga tersebut atas perilaku salah satu dari angota keluarga tersebut, maka:

K.H.I  (Kompilasi Hukum Islam) Indonesia menetapkan KEABSAHAN pernikahan antara seorang laki- laki dengan  wanita YANG TELAH HAMIL ZINA, dan menuangkannya pada BAB VIII pasal 53 ayat 1-3 demikian:

1. Seseorang wanita hamil  diluar nikah dapat dikawinkan dengan LAKI- LAKI YANG MENGHAMILINYA.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.


Status anak dari HAMIL ZINA :


Adapun anak dari hasil hubungan ZINA, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan dengan dua kemungkinan, yakni:

1.       Bila anak tersebut lahir 6 (enam) bulan LEBIH setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada Suami yang telah mengawini  ibunya itu.

2.       Bila anak tersebut lahir KURANG 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab anak tersebut adalah KEPADA IBUNYA.

Hal ini bersesuaian dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya Syekh Muhammad Zaid         Al-Abyani  yang menyatakan bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari = 6 bulan. Para Ulama’ mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing dari Surat Al- Ahqoof 15 dan Surat Luqman ayat 14. 

ﻮﺤﻤﻠﻪ ﻭﻔﺼﺎﻟﻪ ﺜﻼﺜﻮﻦ ﺸﻬﺮﺍ ………(ﺍﻷﺤﻘﺎﻒ١٥)
ﻮﻔﺼﺎﻟﻪ ﻔﻰ ﻋﺎﻤﻴﻦ ……………………(ﻟﻗﻤﻦ١٤)

Menurut Surat Al- Ahqoof 15, waktu mengandung dan menyapih = 30 bulan
Menurtut Luqman 14, waktu menyapih itu =…………………………………= 24 bulan
Jadi waktu hamil minimal = …………………………………………………………….=  6 bulan
Sesuai dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Hanifah menghitung jumlah 180 hari itu dari PERNIKAHAN, bukan dari mulainya hubungan sekssual diantara kedua orang tua biologisnya.

Catatan penting:

Maka pada kasus no. 2 , yakni jika si anak lahir kurang dari 6 bulan, bila si anak terlahir perempuan, jika ia nanti setelah dewasa hendak menikah, maka walinya bukan suami ibunya namun WALI HAKIM.
Tentu saja anak tersebut secara syar’I tidak mendapatkan hak waris sebagai anak yang sah dari suami ibunya itu bila nanti suami ibunya meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, terkecuali bila yang meninggal itu sebelumnya telah IQROR (membuat pernyataan) bahwa anak tersebut diakui sebagai anaknya sebagaimana diterangkan oleh  Badran Abu Al-Ainain sebagai konsekwensi kebalikan pada kasus anak LI’AN (suami yang menuduh istrinya mengandung bukan dari dirinya).

Namun demikian ada beberapa perbedaan pandangan tentang hal ini yang mengacu dari beberapa kejadian dimana terjadi kasus- persengketaan nasab anak- anak yang dibawa kepada keputusan Nabi  seperti kasus persengketaaan antara Sa’ad bin Abi Waqosh dan Abdu bin Zam,ah atau seperti apa  yang diputuskan Umar bin Al- Khottob tentang anak- anak jahiliyyah yang terlahir dari kebiasaan wanita- wanita mereka kumpul kebo dengan banyak lelaki, dimana Nabi dan Umar bin Al- Khottob memutuskan bahwa anak tersebut (TANPA  MELIHAT  UMUR  KEHAMILAN) adalah  anak SUAMINYA  YANG SAH, SESUAI SABDA Rasul dalam suatu peristiwa persengketaan tersebut diatas  dalam riwayat yang panjang, diantaranya:
  
ﺍﻟﻮﻠﺪ ﻟﻟﻔﺮﺍﺶ ﻮﻠﻠﻌﺎﻫﺮ ﺍﻠﺤﺠﺮ  . ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺍﻻ ﺍﻟﺗﺮﻤﺬﻱ

“Anak itu dinasabkan kepada  SUAMI  IBUNYA , sedangkan bagi si pelaku zina dia harus dihukum (dera/rajam)”. Hadist riwayat Jama’ah  ahli hadist terkecuali Turmudzi.

Wallohu A’lam.



Source: tanbihun.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar